Selasa, 30 Desember 2014

Weekend terakhir sebelum UTS, kebanyakan mahasiswa akan menolak jika diajak main dan pergi jauh dengan alasan belajar sebelum UTS. Yes that`s right, that`s what we supposed to do. Tapi faktanya, dari beberapa UTS yang pernah saya lalui, hanya mencari coppy materi sebanyak-banyaknya dan tak satupun sempat saya baca, hhe. Dan ajakan memanjat tebing di Siung-Gunung Kidul-Jogja ternyata lebih membuat saya bersemangat daripada sibuk menyibukkan diri menjelang UTS semester 5. Lumayan untuk menyegarkan kembali pikiran sebelum berhadapan dengan serangkaian ujian, sekalian untuk mempraktikkan ilmu vertical photography yang saya dapat dari googling.

Memakan waktu 6 jam 30 menit untuk perjalanan dari Semarang-Siung dengan sepeda motor dengan kecepatan sedang (+ trouble + nyasar + ketinggalan +++++) mungkin akan lebih cepat jika tidak ada bumbu tambahannya. Dengan jumlah personil sebanyak 12 orang, kami tiba di lokasi sekitar pukul 03:00 dini hari, dan kami bergegas mendirikan tenda dan istirahat


When i woke up in the morning, how i surprised and exited. Ternyata pemandangannya indah luar biasa, jauh lebih indah dari yang saya bayangkan menurut cerita teman saya yang pernah kesana. Kami ngecamp di tanah lapang di kelilingi tebing, dan dibelakang camp kami adalah laut lepas hingga samudra Hindia. Tebing menjulang tinggi dan hitam terpantul cahaya matahari pagi, angin yang sejuk, dan lautan yang biru dan bersih. Posisi camp kami berada di atas tebing sehingga tidak langsung terkena percikan air laut. Sempurna

       

Setelah sarapan cukup, kami tidak sabar untuk segera memanjat tebing. Sebenarnya saya ikut bukan untuk memanjat tebing, saya hanya diminta untuk menjadi fotografer dengan menggunakan teknik vertical photography, dan tentu saja saya tidak menolak karena itu pengalaman pertama saya. Nanti saya ceritakan bagaimana teknik vertical photography. Sebagai pembuka dan pemanasan, tim panjat melakukan Bouldering. Boulder adalah pemanjatan tanpa menggunakan pengaman tali karena hanya dilakukan pada tebing yang tidak tinggi sehingga masih aman walau tanpa pengaman. Lanjut pemanjatan hari pertama, Overhang. Overhang adalah tebing dengan kemiringan sekitar 10-80 derajat menjorok keluar tebing. Dengan sudut kemiringan ini sudah pasti pemanjatan akan lebih sulit dan membutuhkan kekuatan tangan yang lebih. Pemanjatan pertama, tim panjat gagal mencapai top.


Sore harinya, kami melakukan pemanjatan kedua, dengan ketinggian lebih tinggi dari spot pertama. Namun pada spot kali ini, tebing langsung berhadapan dengan laut, sehingga akan mempengaruhi faktor psikologis tim panjat. Setelah beberapa kali dicoba, tak satupun tim yang berhasil mencapai top, kesulitan utama dikarenakan permukaan tebing yang licin sehingga seringkali tim terpeleset dan jatuh. Daaann rencana pemotretan vertical di hari pertama, gagal total!


Untuk mengalihkan rasa kecewa hari itu, saya dan teman saya menuju belakang tebing, dari situ kita bisa mendaki ke puncak tebing, dibelakang tebing terdapat jalur untuk mencapai puncak dengan kondisi yang lumayan landai sehingga tidak perlu peralatan khusus, hanya perlu berjalan biasa seperti naik gunung. Perlu hati-hati karena batu tebing yang tajam, terdapat pohon yang jika tersentuh kulit akan berefek sangat gatal dan rasa terbakar, juga karena jika salah langkah kaki kita bisa terperosok ke sela-sela batu tebing. Dari puncak tebing kami menikmati sensasi di atas ketinggian sekitar 50 meter dan sunset yang mempesona.


Malam yang indah beratapkan langit berbintang, api unggun menghangatkan, tawa riang teman-teman yang sudah seperti keluarga sendiri menentramkan, serta petikan merdu gitar membuat saya tak ingin malam itu cepat berlalu. Terlalu indah untuk dilewatkan. Namun sayangnya rasa ngantuk dan lelah setelah seharian menaklukan tebing, terlebih malam sebelumnya yang hanya sempat istirahat sebentar saat pagi hampir datang, mengalahkan keinginan saya menikmati malam lebih lama, slept tight at that night.


Besoknya, saya bangun lebih pagi, bergegas menuju belakang tebing dan mulai mendaki hingga puncak tebing seperti yang saya lakukan kemarin sore. Kali ini saya menikmati sunrise dari atas tebing. Menikmati hangatnya cahaya mentari pagi yang lembut menyentuh wajah. Dari situ kami bisa melihat warna warni camp kami yang terlihat sangat kecil, dan dibaliknya terlihat laut surut dan menyisakan warna hijau di sepanjang garis pantai. Saya penasaran untuk mengeksplore keindahan apa lagi yang disuguhkan siung, saya dan teman-teman memutuskan untuk berjalan mendaki dan menuruni bukit, and what we got?! Such a beautiful beach over there. Namanya pantai Lambor. Dari atas bukit, air di pantai ini terlihat seperti kolam, hal ini terjadi karena terdapat tebing karang di kanan dan kiri pantai sehingga ombak terpecah dan mengalir ke pantai. Kami tidak dapat menolak untuk mencoba dinginnya air laut pagi itu.


Puas berenang, kami bersiap untuk pulang ke Semarang. But what`s going on?? Delay it?? Yeah!! Sebenarnya tidak ada rencana pemanjatan hari itu, karena kami berencana pulang pada pagi hari, agar tidak terlalu lelah saat UTS besok harinya. But we are the young blood. Ternyata kami semua masih haus akan obsesi top tebing dan vertical photography. Tim panjat mulai bersiap. Climb higher and higher. Pada ketinggian kurang lebih 15 meter sang leader membuat anchor untuk SRT (Single Rope Technique). SRT biasa diterapkan pada saat menuruni goa vertical, namun kali ini set SRT dipasang sebagai fasilitas fotografer untuk dapat angle pemotretan yang lebih ekstrim. Dengan kata lain, SRT ini sengaja dibuat khusus untuk saya, hhehe. Setelah set SRT siap digunakan, Leader meneruskan pemanjatan sampai top. Yeah, he did it. Sekarang giliran saya yang naik menggunakan set SRT. Karena di tebing, maka saya menggunakan teknik SRT tidak menggantung seperti biasanya, hal ini untuk menghindari friction karena permukaan tebing yang tajam. Saya melakukan pemanjatan seperti teknik pada panjat tebing hanya saja pengaman yang saya gunakan adalah pengaman untuk goa vertical. Saya suka menyebutnya dengan kolaborasi teknik.





Pada ketinggian kira-kira 10 meter, saya stay disitu menunggu tim yang bergiliran memanjat. Vertical photography mulai saya lakukan. Kamera saya gantung di leher dan ditambah carabiner sebagai pengaman. Kaki saya harus tetap bertumpu pada tebing dan tidak boleh menggantung karena tali karmantel bisa tergesek dan rusak. 2 jam saya bergelantungan di ketinggian 10 meter, sampai rasanya kaki saya hampir mati rasa. Sebenarnya bergantungan dengan harnes terlalu lama tidak dianjurkan, karena aliran darah dalam tubuh terhambat dan dapat mengakibatkan pingsan, tim rescue yang bakal repot kalau sampai pingsan. 

Pengorbanan saya membuahkan hasil yang memuaskan. Rasanya makin penasaran untuk mencobanya lagi di tebing-tebing lain. Terimakasih tim. Faran, Soki, Fadhlin, Edi, mas Coro, mba Diah, Karis, Nene, Wisnu, Afghan, Temon, kalian luar biasa :D




0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Instagram

Popular Posts

LATEST POSTS